Minggu, 29 November 2009

Menulis

Saat menulis adalah ketika jaga di RS .... Ketika tidak ada pasien dan tidak ada konsulan. Daripada tidak ada kegiatan, maka aku memutuskan mulai kembali menulis. Dengan menulis, aku bisa mencurahkan isi hatiku, bisa menumpahkan apa yang ada di pikiranku. Sejak dulu, aku memang suka menulis. tapi aku tidak punya keberanian menulis untuk 'publik'....
Suamiku sering mendorong aku untuk kembali menulis artikel-arikel kesehatan yang bisa dikirim ke As Sunnah, An Nikah, dan majalah islam lainnya. tetapi karena alasan sibuk, aku belum kembali mencoba...
Mungkin mulai saat ini aku akan mencoba, kembali menulis lagi. Insya ALLAH.
Semoga bisa membawa faedah buat akhwat fillah.

Rabu, 25 November 2009

9 dzulhijah

Rencana hari ini harus kontrol post kuretase 2 minggu yang lalu.
agak deg-degan juga, harus periksa urin..untuk tahu kadar HCG nya.
dari hasil kuret, ada gelembung mola, jadi untuk memastikan harus di PA. dan dipantau kadar HCG.

ya ALLAH...semoga tidak terjadi hal-hal yang dikhawatirkan.
semua sudah menjadi kehendakMU
bimbinglah diri ini untuk selalu bersabar dan bersyukur atas semua taqdirMu.

hari ini 9 dzulhijah, hari yang sangat mulia.
harus banyak beramal shalih...
rencana pulang ke rumah mertua, shalat IED di randudongkal.
besok ada pertemuan keluarga abulharits.
alhamdulillah... sudah mulai akrab dengan family jauzy (terutama dari keluarga bapak mertua).
tiap 3 bulan ada pertemuan rutin keluarga.

tetapi sejak ibu mertua meninggal, kami kurang akrab dengan keluarga dari ibu.
walaupun begitu alhamdulillah abulharits masih menjalin silaturahim dengan saudara-saudara ibu.
abulharits tahu bahwa salah satu bentuk birrul walidain adalah dengan tetap menjalin silaturahim dengan saudara-saudara orang tua kita ketika orang tua kita sudah meninggal dunia. Karena itu sedapat mungkin kalau senggang, abulharits mengajak kami ziarah ke rumah wajikun dan wanarwen (kakak dari ibu mertua).

ya ALLAH...bimbinglah kami untuk selalu menjadi anak shalih, yang bisa menjadi penyejuk mata kedua orang tua kami. jadikanlah anak-anak kami anak yang shalih dan qurrota a'yun. amiin.

Pembuka Pintu Kebaikan

Pembuka pintu kebaikan ada 3 :
- puasa sunah
- sedekah
- qiyamullail

jika kita sudah membuka ke-3 pintu itu, insya ALLAH pintu-pintu kebaikan yang lain akan terbuka dengan sendirinya.
berusahalah untuk selalu mengerjakan hal itu duhai diri ini...agar mempermudah jalan untuk menggapai keridhaan ilahi.

dari : kajian syarh hadits arbain an nawawiyah, oleh al ustadz budi, masjid al islah-pemalang

BAITI

Rumah yang sederhana, sudah dibangun sejak akhir tahun 80-an.
Luasnya mungkin cuma 45 meter persegi,
Ada 3 kamar, satu kamar mandi, dapur dan ruang tamu.
Ada halaman di depan dan belakangnya, biarpun tidak ada pagarnya.
Bangunannya sudah tua, sehingga sebelum pindahan, kami harus ngecat dan sedikit renovasi.

Alhamdulillah..
Rumah yang nyaman, kami sudah mulai betah, apalagi lokasinya strategis.
Dekat dengan masjid, sehingga suami tidak bingung kalau shalat jama'ah.
Di depan rumah juga bukan jalan raya, sehingga kami tidak takut jika anak-anak bermain di luar rumah.
Ada halaman belakang yang sudah ditanami anggur dan apotik hidup oleh pemilik sebelumnya.
Bagaimana dengan tetangga kami? Alhamdulillah...mereka adalah teman kerja di RS, jadi kami tidak perlu banyak adaptasi. tidak ada "tahlilan", pertemuan PKK, arisan ibu-ibu dsb seperti sebagaimana di perumahan/kampung.

ya Rabb...semoga rumah ini bisa menjadi tempat untuk selalu beribadah kepada Mu,
Jauhkanlah dari segala gangguan syaitan dan dari kejahatan makhlukMu.
Bimbinglah kami untuk selalu istiqomah di jalanMu.

Demam

Demam adalah kenaikan suhu tubuh, biasanya suhu aksiler (suhu di ketiak) > 37,5 derajat celcius.
kalau anak kita demam beberapa hal ini bisa ukhti fillah lakukan :
  1. Istirahatkan sang buah hati. kadang walaupun demam anak inginnya tetap bermain, jangan sampai anak kita terlalu kecapekan.
  2. Beri banyak minum; baik air putih, jus, teh, sari buah, dsb
  3. Kompres dengan air hangat (jangan air dingin), tetapi kalau suhu tubuh diatas 39 derajat, dianjurkan dengan air biasa.
  4. Biasanya produksi keringat lebih banyak sehingga baju anak mudah basah, segera ganti dengan baju yang kering dan nyaman.
  5. Beri obat penurun panas sesuai dengan dosis yang tepat.
  6. Obat penurun panas (paracetamol) bisa diberikan selang 4 jam, tetapi maksimal 5 kali sehari. 
  7. Tingkatkan daya tahan tubuh, baik dengan telaten memberi makan (sedikit-sedikit tetapi sering), atau dengan memberi multivitamin, sari kurma ataupun madu. 
  8. Jika dalam 2 hari demam tidak turun, segera konsultasikan dengan dokter. 
  9. Berdo'a kepada ALLAH Azza Wa Jalla, semoga memberi kesembuhan pada sang buah hati.                
Semoga tips ini bermanfaat buat ukhti fillah..
Wallahu a'lam bish showab

Selasa, 24 November 2009

Tentang Blog

Bismillahirrahmanirrohim

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapan yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad  Sholalllohu 'alaihi wassalam adalah hamba dan Rasul-Nya.

‘Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam’ [Ali Imran 102]

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu’ [QS. An Nisaa’ 1].

‘Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar’ [Al Ahzaab 70-71]

Senin, 23 November 2009

Bolehkah Memiliki Pembantu Rumah Tangga?

Bolehkah Memiliki Pembantu Rumah Tangga?
28 August 2009

Ustadz Musyaffa Ad Dariny, Lc. menjawab:

Ada dua pendapat yang sekilas berbeda dalam masalah ini:

(1) Tidak membolehkan sama sekali, ini adalah pendapat mayoritas ulama madzhab (yakni: Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah)

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ : أَكْرَهُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ الرَّجُلُ امْرَأَةً حُرَّةً يَسْتَخْدِمُهَا وَيَخْلُو بِهَا وَكَذَلِكَ الْأَمَةُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ أَمَّا الْخَلْوَةُ فَلِأَنَّ الْخَلْوَةَ بِالْمَرْأَةِ الْأَجْنَبِيَّةِ مَعْصِيَةٌ . وَأَمَّا الِاسْتِخْدَامُ فَلِأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ مَعَهُ الِاطِّلَاعُ عَلَيْهَا وَالْوُقُوعُ فِي الْمَعْصِيَةِ (بدائع الصنائع 4/189)

Imam Abu Hanifah mengatakan: “Aku benci (yakni mengharamkan) pria menyewa wanita merdeka, untuk dijadikan sebagai pembantu dan bisa menyendiri dengannya. Begitu pula jika yang disewa adalah wanita hamba sahaya”. Ini (juga) pendapatnya Abu Yusuf dan Muhammad. Alasan larangan menyendiri dengannya, karena menyendiri dengan wanita yang bukan mahrom adalah maksiat. Sedang alasan larangan menjadikannya pelayan, karena tidak akan selamat dari melihatnya dan terjatuh dalam kemaksiatan. (Bada’i'us Shana’i’, 4/189)

سَمِعْتُ مَالِكًا وَسُئِلَ عَنْ الْمَرْأَةِ تُعَادِلُ الرَّجُلَ فِي الْمَحْمَلِ لَيْسَ بَيْنَهُمَا مَحْرَمٌ فَكَرِهَ ذَلِكَ , فَاَلَّذِي يَسْتَأْجِرُ الْمَرْأَةَ تَخْدِمُهُ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا مَحْرَمٌ وَلَيْسَ لَهُ أَهْلٌ وَهُوَ يَخْلُو مَعَهَا أَشَدُّ عِنْدِي كَرَاهِيَةً. (المدونة 3/443)

Aku pernah mendengar Imam Malik ditanya tentang wanita yang mengambil pria (sebagai kusir) sekedupnya, padahal tidak ada mahrom diantara mereka, maka beliau membenci (mengharamkan)-nya. Karena itu, pria yang mengambil wanita sebagai pembantu padahal tidak ada mahram diantara mereka, sedang si pria tidak punya istri, dan dia bisa menyendiri dengannya, itu lebih haram bagiku. (Al-Mudawwanah, 3/443)

لَوْ اسْتَأْجَرَ أَجْنَبِيٌّ أَمَةً تَخْدُمُهُ فَوَجْهَانِ, وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْأَصَحُّ التَّحْرِيمَ; لِأَنَّهُ لَا يَنْفَكُّ عَنْ النَّظَرِ غَالِبًا .(حاشية قليوبي وعميرة 3/72)

Jika pria yang bukan mahram mengambil budak wanita sebagai pembantunya, maka ada dua pendapat (dalam madzhab syafi’i), dan yang layak dijadikan sebagai pendapat yang paling shahih adalah pendapat yang mengharamkannya, karena pada umumnya tidak mungkin lepas dari melihatnya (padahal melihatnya itu haram hukumnya). (Hasyiah Qalyubi dan Umairah, 3/72)

(2) Membolehkan dengan syarat selamat dari hal yang dilarang syariat. Ini pendapatnya Madzhab Hambali.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ رضي الله عنه: يَجُوزُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ الْأَجْنَبِيُّ الْأَمَةَ وَالْحُرَّةَ لِلْخِدْمَةِ, وَلَكِنْ يَصْرِفُ وَجْهَهُ عَنْ النَّظَرِ لِلْحُرَّةِ. لَيْسَتْ الْأَمَةُ مِثْلَ الْحُرَّةِ, فَلَا يُبَاحُ لِلْمُسْتَأْجِرِ النَّظَرُ لِشَيْءٍ مِنْ الْحُرَّةِ, بِخِلَافِ الْأَمَةِ, فَيَنْظُرُ مِنْهَا إلَى الْأَعْضَاءِ السِّتَّةِ, أَوْ إلَى مَا عَدَّا عَوْرَةَ الصَّلَاةِ عَلَى مَا يَأْتِي فِي النِّكَاحِ, وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْمُسْتَأْجِرَ لَهُمَا كَالْأَجْنَبِيِّ, فَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَخْلُوَ مَعَ إحْدَاهُمَا فِي بَيْتٍ, وَلَا يَنْظُرَ إلَى الْحُرَّةِ مُتَجَرِّدَةً, وَلَا إلَى شَعْرِهَا الْمُتَّصِلِ; لِأَنَّهُ عَوْرَةٌ مِنْهَا, بِخِلَافِ الْأَمَةِ.

Imam Ahmad Rahimahullah mengatakan: “Pria yang bukan mahram boleh mengambil wanita -baik budak atau merdeka- untuk dijadikan sebagai pembantu, tapi ia harus memalingkan wajahnya dan tidak melihatnya, jika pembantunya itu wanita yang merdeka. Pembantu wanita yang budak tidak seperti yang merdeka.

Karena itu, Pria yang menjadikannya pembantu tidak boleh melihat bagian tubuh manapun dari wanita yang merdeka. Berbeda jika pembantunya itu wanita dari budak, maka ia boleh melihatnya pada bagian tubuhnya yang enam, atau bagian tubuh yang tidak menjadi auratnya ketika shalat, sebagaimana akan diterangkan pada bab nikah.

Intinya, Pria yang menjadikannya pembantu tidak boleh melihat keduanya, sebagaimana pria lain (yang bukan mahram). Karenanya ia tidak boleh menyendiri dengan kedua jenis pembantu ini dalam satu rumah, ia tidak boleh melihatnya terbuka, dan tidak boleh melihat rambutnya yang masih sambung, karena itu termasuk auratnya, berbeda jika pembantu wanitanya itu dari budak” (Mathalibu Ulin Nuha, 3/615, dan Kasysyaful Qona’, 3/548)

Dua pendapat ini, sebenarnya tidak bertentangan, karena ulama yang membolehkannya, melihat hukum asal akad tersebut, sedang ulama yang mengharamkannya, melihat hukum akhirnya setelah dipengaruhi situasi dan kondisi. Mereka semua sepakat bahwa hukum asal akad sewa tersebut dibolehkan, dan mereka juga sepakat jika akad sewa tersebut mengandung hal yang melanggar syariat maka dilarang. Wallahu a’lam.

Kesimpulannya, diharamkan mengambil pembantu, kecuali dalam dua keadaan:

(a) Jika keadaannya darurat atau sangat membutuhkan sekali.

(b) Jika bisa selamat dari hal-hal yang dilarang oleh syariat, seperti melihatnya, berduaan dengannya, atau bercampurnya pria dan wanita yang bukan mahram, dll.

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin mengatakan:

Pertama: Hendaklah kita tidak mendatangkan pembantu -wanita atau pria- kecuali jika keadaannya mendesak atau darurat, karena kedatangan pembantu itu akan menghabiskan banyak biaya yang sebenarnya tidak diperlukan dan bukan darurat, padahal Nabi -shallallohu’alaihi wasallam- telah melarang umatnya menyia-nyiakan harta.

Kedua: Sebagian mereka kurang amanah dalam menjalankan tugas yang kita percayakan kepadanya. Oleh karena itu, tidak seyogyanya mendatangkan pembantu -pria atau wanita- kecuali dengan beberapa syarat:

Untuk pembantu wanita: (Jika rumahnya jauh) Harus ada mahramnya. Jika tidak ada, maka tidak boleh mendatangkannya, karena sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam-: “Wanita tidak boleh safar kecuali dengan mahramnya”… Tidak ditakutkan menimbulkan fitnah (bahaya syahwat). Jika takut menimbulkan fitnah, baik terhadap dirinya maupun anak-anaknya, maka ia tidak boleh melakukannya. Harus selalu menjalankan kewajibannya menutup wajahnya. Tidak boleh menyendiri dengannya. Jika tak ada orang lain di rumahnya, maka ia tidak boleh mendatangkan pembantunya sama sekali, begitu pula, jika ada orang lain di rumahnya tapi mereka biasa pergi dari rumah dan ia tinggal sendiri di rumahnya bersama pembantu ini, maka ini juga tidak boleh, karena sabda Nabi –shallallahu’alaihi wasallam-: “Pria tidak boleh berduaan dengan wanita kecuali dengan mahramnya”. (Liqa’ul Babil Maftuh, no soal: 619)

Syeikh Abdullah Al-Faqih mengatakan: “Menyebarnya tren mendatangkan pembantu rumah tangga ini, banyak menyebabkan kerusakan, dan kenyataan adalah saksi paling baik untuknya, diantara kerusakan itu adalah:

Pertama: Dan ini yang paling bahaya, mendholimi putra dan putrinya ketika mereka dirumahnya, yaitu dengan menyerahkan pendidikan mereka kepada para pembantu wanita, sehingga anak kehilangan ikatan rasa dengan ortunya, padahal ikatan rasa itulah unsur utama dalam mendidik dan mengarahkan jiwa anak.

Kedua: Adanya pembantu wanita dalam rumah, merupakan penyebab utama yang mendorong para ibu keluar rumah, baik untuk kerja, atau belanja, atau pergi ke rumah orang lain. Dan ini jelas bertentangan dengan maksud dan tujuan Syariat Islam agar wanita menetap di rumahnya, Allah berfirman (yang artinya): “Hendaklah kalian (para istri) tetap di rumah kalian!” (Al-Ahzab:33)

Ketiga: Menjadikan wanita (yakni istri dan putri majikan) merasa jenuh dan malas, dan ini merupakan penyebab utama terjangkitnya banyak penyakit pada wanita.

Keempat: Membiarkan pembantu wanita di dalam rumah bersama anak-anak usia puber, termasuk diantara penyebab jatuhnya mereka dalam perbuatan keji (zina)” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no fatwa: 18210).

Dari uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan, sebaiknya kita tidak mengambil pembantu, karena banyaknya mafsadah yang ditimbulkan, dan sulitnya memenuhi syarat dari ulama yang membolehkannya. Kecuali bila keadaannya darurat atau sangat mendesak sekali. Wallahu a’lam.

dari www.ustadzkholid.com

Bolehkah Wanita Bekerja?

Saya Memiliki Anak, Bolehkah Bekerja?
24 August 2009

Saya ibu dengan satu bayi putri. Saya bekerja sebagai PNS di Depdiknas. Mohon nasihatnya, setelah saya belajar Islam dengan manhaj Salaful ummah ini, timbul dilema antara melanjutkan karir atau mempersiapkan diri untuk keluar dari pekerjaan dan menjadi ibu yang full time di rumah. Masalahnya adalah saya kurang pandai bekerja di rumah, sekarang ini walau tak ada pembantu saya masih bisa mengurus rumah walaupun seadanya.

Khawatirnya jika saya tetap bekerja, akan bertentangan dengan surat Al Ahzab ayat 33 bahwa tempat wanita adalah rumahnya. Mohon nasihatnya ustadz, agar ana ikhlas bekerja tanpa pembantu dan mendapatkan yang lebih baik dari sekadar khadimat dengan dzikir sebelum tidur. Namun, bolehkah saya punya khadimat ya ustadz masalahnya jadi ada non-mahram di rumah kami. Jazaakumullah Khair wa Barakallahu fikum, Wassallam

Neneng
Alamat: Jakarta Selatan
Email: nenengtxxxxx@yahoo.com

Ustadz Musyaffa Ad Darini,Lc. menjawab:

Bismillah, walhamdulillah wash shalatu wassalamu ala rasulillah, wa’ala alihi washahbihi wa man waalah, amma ba’du.

Semoga Allah mencurahkan rahmat, berkah dan taufiq-Nya kepada anda, karena semangat anda menetapi manhaj yang lurus ini, Amin. Agar lebih fokus dan mudah dipahami, jawaban pertanyaan anda kami jabarkan dalam poin-poin berikut ini:

Pertama: Islam adalah syariat yang diturunkan oleh Allah Sang Pencipta Manusia, hanya Dia-lah yang maha mengetahui seluk beluk ciptaan-Nya. Hanya Dia yang maha tahu mana yang baik dan memperbaiki hamba-Nya, serta mana yang buruk dan membahayakan mereka. Oleh karena itu, Islam menjadi aturan hidup manusia yang paling baik, paling lengkap dan paling mulia, Hanya Islam yang bisa mengantarkan manusia menuju kebaikan, kemajuan, dan kebahagiaan dunia akhirat. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rosul apabila dia menyerumu kepada sesuatu (ajaran) yang memberi kehidupan kepadamu“. (QS. Al-Anfal: 24).

Allah adalah Dzat yang maha pengasih, maha penyayang dan terus mengurusi makhluk-Nya, oleh karena itu Dia takkan membiarkan makhluknya sia-sia, Allah berfirman:

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa ada perintah, larangan dan pertanggung-jawaban)?!” (QS. Al-Qiyamah:36, lihat tafsir Ibnu Katsir 8/283).

Oleh karena itulah, Allah menurunkan syariat-Nya, dan mengharuskan manusia untuk menerapkannya dalam kehidupan, tidak lain agar kehidupan mereka menjadi lebih baik, lebih maju, lebih mulia, dan lebih bahagia di dunia dan di akhirat.

Kedua: Islam menjadikan lelaki sebagai kepala keluarga, di pundaknya lah tanggung jawab utama lahir batin keluarga. Islam juga sangat proporsional dalam membagi tugas rumah tangga, kepala keluarga diberikan tugas utama untuk menyelesaikan segala urusan di luar rumah, sedang sang ibu memiliki tugas utama yang mulia, yakni mengurusi segala urusan dalam rumah.

Norma-norma ini terkandung dalam firman-Nya:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).

Begitu pula firman-Nya:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Hendaklah kalian (para istri) tetap di rumah kalian” (QS. Al-Ahzab:33).

Ahli Tafsir ternama Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan perkataannya: “Maksudnya, hendaklah kalian (para istri) menetapi rumah kalian, dan janganlah keluar kecuali ada kebutuhan. Termasuk diantara kebutuhan yang syar’i adalah keluar rumah untuk shalat di masjid dengan memenuhi syarat-syaratnya” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/409).

Inilah keluarga yang ideal dalam Islam, kepala keluarga sebagai penanggung jawab utama urusan luar rumah, dan ibu sebagai penanggung jawab utama urusan dalam rumah. Sungguh, jika aturan ini benar-benar kita terapkan, dan kita saling memahami tugas masing-masing, niscaya terbangun tatanan masyarakat yang maju dan berimbang dalam bidang moral dan materialnya, tercapai ketentraman lahir batinnya, dan juga teraih kebahagiaan dunia akhiratnya.

Ketiga: Bolehkah wanita bekerja?

Memang bekerja adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam juga tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.

Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan bisnis, karena Alloh jalla wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja dalam firman-Nya:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“ (QS. At-Taubah:105)

Perintah ini mencakup pria dan wanita. Alloh juga mensyariatkan bisnis kepada semua hambanya, Karenanya seluruh manusia diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria maupun wanita, Alloh berfirman (yang artinya):

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29),

perintah ini berlaku umum, baik pria maupun wanita…

AKAN TETAPI, wajib diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan dan bisnisnya, hendaklah pelaksanaannya bebas dari hal-hal yang menyebabkan masalah dan kemungkaran. Dalam pekerjaan wanita, harusnya tidak ada ikhtilat (campur) dengan pria dan tidak menimbulkan fitnah. Begitu pula dalam bisnisnya harusnya dalam keadaan tidak mendatangkan fitnah, selalu berusaha memakai hijab syar’i, tertutup, dan menjauh dari sumber-sumber fitnah.

Karena itu, jual beli antara mereka bila dipisahkan dengan pria itu boleh, begitu pula dalam pekerjaan mereka. Yang wanita boleh bekerja sebagai dokter, perawat, dan pengajar khusus untuk wanita, yang pria juga boleh bekerja sebagai dokter dan pengajar khusus untuk pria. Adapun bila wanita menjadi dokter atau perawat untuk pria, sebaliknya pria menjadi dokter atau perawat untuk wanita, maka praktek seperti ini tidak dibolehkan oleh syariat, karena adanya fitnah dan kerusakan di dalamnya.

Bolehnya bekerja, harus dengan syarat tidak membahayakan agama dan kehormatan, baik untuk wanita maupun pria. Pekerjaan wanita harus bebas dari hal-hal yang membahayakan agama dan kehormatannya, serta tidak menyebabkan fitnah dan kerusakan moral pada pria. Begitu pula pekerjaan pria harus tidak menyebabkan fitnah dan kerusakan bagi kaum wanita.

Hendaklah kaum pria dan wanita itu masing-masing bekerja dengan cara yang baik, tidak saling membahayakan antara satu dengan yang lainnya, serta tidak membahayakan masyarakatnya.

Kecuali dalam keadaan darurat, jika situasinya mendesak seorang pria boleh mengurusi wanita, misalnya pria boleh mengobati wanita karena tidak adanya wanita yang bisa mengobatinya, begitu pula sebaliknya. Tentunya dengan tetap berusaha menjauhi sumber-sumber fitnah, seperti menyendiri, membuka aurat, dll yang bisa menimbulkan fitnah. Ini merupakan pengecualian (hanya boleh dilakukan jika keadaannya darurat). (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz, jilid 28, hal: 103-109)

Keempat: Ada hal-hal yang perlu diperhatikan, jika istri ingin bekerja, diantaranya:

1. Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam rumah, karena mengurus rumah adalah pekerjaan wajibnya, sedang pekerjaan luarnya bukan kewajiban baginya, dan sesuatu yang wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.

2. Harus dengan izin suaminya, karena istri wajib mentaati suaminya.

3. Menerapkan adab-adab islami, seperti: Menjaga pandangan, memakai hijab syar’i, tidak memakai wewangian, tidak melembutkan suaranya kepada pria yang bukan mahrom, dll.

4. Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita, seperti: mengajar, dokter, perawat, penulis artikel, buku, dll.

5. Tidak ada ikhtilat di lingkungan kerjanya. Hendaklah ia mencari lingkungan kerja yang khusus wanita, misalnya: Sekolah wanita, perkumpulan wanita, kursus wanita, dll.

6. Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam rumah. Jika tidak ada, baru cari pekerjaan luar rumah yang khusus di kalangan wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak boleh cari pekerjaan luar rumah yang campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya darurat atau keadaan sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu mencukupi kehidupan keluarganya, atau suaminya sakit, dll.

Kelima: Jawaban pertanyaan anda sangat bergantung dengan pekerjaan dan keadaan anda.

Apa suami mengijinkan anda untuk bekerja? Apa pekerjaan anda tidak mengganggu tugas utama anda dalam rumah? Apa tidak ada pekerjaan yang bisa dikerjakan dalam rumah? Jika lingkungan kerja anda sekarang keadaannya ikhtilat (campur antara pria dan wanita), apa tidak ada pekerjaan lain yang lingkungannya tidak ikhtilat? Jika tidak ada, apa anda sudah dalam kondisi darurat, sehingga apabila anda tidak bekerja itu, anda akan terancam hidupnya atau paling tidak hidup anda akan terasa berat sekali bila anda tidak bekerja? Jika memang demikian, sudahkah anda menerapkan adab-adab islami ketika anda keluar rumah? InsyaAllah dengan uraian kami di atas, anda bisa menjawab sendiri pertanyaan anda.

Memang, seringkali kita butuh waktu dan step by step dalam menerapkan syariat dalam kehidupan kita, tapi peganglah terus firman-Nya:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertaqwalah kepada Alloh semampumu!” (QS. At-Taghabun:16)

dan firman-Nya (yang artinya):

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ

“Jika tekadmu sudah bulat, maka tawakkal-lah kepada Alloh!” (QS. Al Imran:159),

juga sabda Rasul -shallallahu alaihi wasallam- “Ingatlah kepada Allah ketika dalam kemudahan, niscaya Allah akan mengingatmu ketika dalam kesusahan!” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani), dan juga sabdanya:

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا اتِّقَاءَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا أَعْطَاكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُ (رواه أحمد وقال الألباني: سنده صحيح على شرط مسلم)

“Sungguh kamu tidak meninggalkan sesuatu karena takwamu kepada Alloh azza wajall, melainkan Alloh pasti akan memberimu ganti yang lebih baik darinya” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani).

Terakhir: Kadang terbetik dalam benak kita, mengapa Islam terkesan mengekang wanita?!

Inilah doktrin yang selama ini sering dijejalkan para musuh Islam, mereka menyuarakan pembebasan wanita, padahal dibalik itu mereka ingin menjadikan para wanita sebagai obyek nafsunya, mereka ingin bebas menikmati keindahan wanita, dengan lebih dahulu menurunkan martabatnya, mereka ingin merusak wanita yang teguh dengan agamanya agar mau mempertontonkan auratnya, sebagaimana mereka telah merusak kaum wanita mereka.

Lihatlah kaum wanita di negara-negara barat, meski ada yang terlihat mencapai posisi yang tinggi dan dihormati, tapi kebanyakan mereka dijadikan sebagai obyek dagangan hingga harus menjual kehormatan mereka, penghias motor dan mobil dalam lomba balap, penghias barang dagangan, pemoles iklan-iklan di berbagai media informasi, dll. Wanita mereka dituntut untuk berkarir padahal itu bukan kewajiban mereka, sehingga menelantarkan kewajiban mereka untuk mengurus dan mendidik anaknya sebagai generasi penerus. Selanjutnya rusaklah tatanan kehidupan masyarakat mereka. Tidak berhenti di sini, mereka juga ingin kaum wanita kita rusak, sebagaimana kaum wanita mereka rusak lahir batinnya, dan diantara langkah awal menuju itu adalah dengan mengajak kaum wanita kita -dengan berbagai cara- agar mau keluar dari rumah mereka.

Cobalah lihat secuil pengakuan orang barat sendiri, tentang sebab rusaknya tatanan masyarakat mereka berikut ini:

Lord Byron: “Andai para pembaca mau melihat keadaan wanita di zaman yunani kuno, tentu anda akan dapati mereka dalam kondisi yang dipaksakan dan menyelisihi fitrahnya, dan tentunya anda akan sepakat denganku, tentang wajibnya menyibukkan wanita dengan tugas-tugas dalam rumah, dibarengi dengan perbaikan gizi dan pakaiannya, dan wajibnya melarang mereka untuk campur dengan laki-laki lain”.

Samuel Smills: “Sungguh aturan yang menyuruh wanita untuk berkarir di tempat-tempat kerja, meski banyak menghasilkan kekayaan untuk negara, tapi akhirnya justru menghancurkan kehidupan rumah tangga, karena hal itu merusak tatanan rumah tangga, merobohkan sendi-sendi keluarga, dan merangsek hubungan sosial kemasyarakatan, karena hal itu jelas akan menjauhkan istri dari suaminya, dan menjauhkan anak-anaknya dari kerabatnya, hingga pada keadaan tertentu tidak ada hasilnya kecuali merendahkan moral wanita, karena tugas hakiki wanita adalah mengurus tugas rumah tangganya…”.

Dr. Iidaylin: “Sesungguhnya sebab terjadinya krisis rumah tangga di Amerika, dan rahasia dari banyak kejahatan di masyarakat, adalah karena istri meninggalkan rumahnya untuk meningkatkan penghasilan keluarga, hingga meningkatlah penghasilan, tapi di sisi lain tingkat akhlak malah menurun… Sungguh pengalaman membuktikan bahwa kembalinya wanita ke lingkungan (keluarga)-nya adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan generasi baru dari kemerosotan yang mereka alami sekarang ini”. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, jilid 1, hal: 425-426)

Lihatlah, bagaimana mereka yang obyektif mengakui imbas buruk dari keluarnya wanita dari rumah untuk berkarir… Sungguh Islam merupakan aturan dan syariat yang paling tepat untuk manusia, Aturan itu bukan untuk mengekang, tapi untuk mengatur jalan hidup manusia, menuju perbaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat… Islam dan pemeluknya, ibarat terapi dan tubuh manusia, Islam akan memperbaiki keadaan pemeluknya, sebagaimana terapi akan memperbaiki tubuh manusia… Islam dan pemeluknya, ibarat UU dan penduduk suatu negeri, Islam mengatur dan menertibkan kehidupan manusia, sebagaimana UU juga bertujuan demikian…

Jadi Islam tidak mengekang wanita, tapi mengatur wanita agar hidupnya menjadi baik, selamat, tentram, dan bahagia dunia akhirat. Begitulah cara Islam menghormati wanita, menjauhkan mereka dari pekerjaan yang memberatkan mereka, menghidarkan mereka dari bahaya yang banyak mengancam mereka di luar rumah, dan menjaga kehormatan mereka dari niat jahat orang yang hidup di sekitarnya…

Sekian jawaban kami, wallahu a’lam… semoga bermanfaat dan bisa dimengerti… wassalam.

NB: Tentang hukum mengambil pembantu, insyaAlloh akan kami jawab di kesempatan lainnya.

Penulis: Ustadz Musyaffa’ Addariny
artikel UstadzKholid.Com

Menyoal Gaji PNS

Berikut ini, ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan ke Majalah Al-Furqon, yang kemudian dijawab oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi.

Teks Pertanyaan:
As-Salamu ‘alaikum

Saya ingin bertanya kepada redaksi Al Furqon sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum bekerja sebagai pegawai negeri, karena sumber dana pemerintah selain dari dana halal juga dari dana yang tidak jelas seperti pariwisata, pajak? Apakah ada perincian lagi, kalau instasi pajak atau pariwisata tidak boleh tapi instasi lain boleh? Apakah kita termasuk wala’ (loyalitas –red) kepada taghut jika kita bekerja di sana?

2. Apakah ikhtilat (campur baur lawan jenis –red) di tempat kerja dapat dikatakan darurat karena hampir di semua tempat kita sulit menghindarinya?

Abu xxxxx waru baru@xxxx.com

Jawab:

Wa’alaikumus Salam wa Rahmatullahi wa Barakatuhu.

1. Dalam soal pertama ini ada tiga permasalahan penting yang membutuhkan keterangan yang jelas, apalagi pada zaman sekarang, dimana mayoritas manusia begitu ambisi mengejar dunia dan acuh terhadap hukum-hukum agama sehingga tidak memperdulikan lagi apakah pekerjaan yang dia geluti selama ini diridhai oleh Allah ataukah tidak. Kita memohon kepada Allah bimbingan dan petunjuk untuk menjawab masalah penting ini dengan jawaban yang diridhaiNya dan memberikan rizki yang halal kepada kita serta menjauhkan kita semua dari rizki yang haram. Amiin.

A. Hukum Bekerja Sebagai Pegawai Negeri
Sebelum kita memasuki inti permasalahan, ada baiknya kita memahami beberapa point penting berikut:
Syari’at Islam menganjurkan kepada kita untuk bekerja dan memberikan kebebasan kepada kita dalam memilih pekerjaan apa saja selagi pekerjaan tersebut halal.
Demikian ditegaskan oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 5/425, Al-Muru’ah wa Khowarimuha 205, Syaikh Masyhur bin Hasan Salman).

عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ سُئِلَ : أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ

Dari Rifa’ah bin Rafi’ bahwasanya Nabi pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau menjawab: “Pekerjaan seorang dengan tangannya sendiri dan setiap perdagangan yang baik”. (Shahih li ghairihi. Riwayat Al-Bazzar sebagaimana dalam Kasyful Astar 2/83/1257)

عَنِ الْمِقْدَامِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ, وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Dari Miqdam dari Nabi bahwa beliau bersabda: Tidaklah seorang memakan makanan yang lebih baik daripada makanan dari hasil tangannya sendiri, dan adalah Nabiyullah Dawud makan dari hasil pekerjaannya sendiri”. (HR. Bukhari 2076)

Dan juga berdasarkan kaidah berharga “Asal dalam muamalat adalah boleh dan halal”.
Oleh karenanya, apabila kita membaca sirah para salaf, niscaya akan kita dapati bahwa mereka berbeda-beda pekerjaannya, ada yang menjadi pedagang, petani, tukang kayu, tukang besi, tukang sepatu, penjahit baju, pembuat roti, pengembala, buruh dan seabrek pekerjaan lainnya.

Ketahuilah bahwa Syari’at membagi pekerjaan menjadi dua macam:
Pekerjaan haram, seperti bekerja sebagai penyanyi, dukun, penjual khamr, pekerja di bank riba, pelacur, pencuri dan sejenisnya dari pekerjaan-pekerjaan yang dilarang oleh syari’at Islam.
Pekerjaan mubah, contohnya banyak sekali, hanya saja sebagian ulama meneyebutkan bahwa “Pokok pekerjaan itu ada tiga: Tani, dagang, industri”. (Al-Hawi Al-Kabir 19/180, Al-Mardawi).
Syaikh Masyhur bin Hasan menambahkan: “Dan diantara pokok pekerjaan pada zaman kita sekarang -selain tiga di atas- adalah bekerja sebagai “pegawai” dengan aneka macamnya. Hanya saja terkadang sebagiannya bercampur dengan hal-hal yang haram atau makruh tergantung keadaan jenis pekerjaan itu sendiri. Para pekerjanya secara umum banyak mengeluh dari kurangnya barakah. Di samping itu, pekerjaan ini juga menimbulkan dampak negatif bagi mayoritas pegawai, diantaranya:

Kurangnya tawakkal kepada Allah dalam rezeki
Banyaknya korupsi dan suap
Malas dalam bekerja dan kurang perhatian
Sangat ambisi dengan gajian akhir bulan
Banyaknya sifat nifaq di depan atasan”. (Lihat Al-Muru’ah wa Khowarimuha hal. 193-206).

Bekerja sebagai pegawai negeri -sebagaimana pekerjaan secara umum- diperinci menjadi dua:
Apabila pekerjaan tersebut tidak ada kaitannya dengan perkara-perkara haram, maka hukumnya boleh, bahkan bisa jadi dianjurkan.
Apabila pekerjaan tersebut berhubungan dengan perkara-perkara haram seperti pajak, pariwisata haram, bank ribawi dan sejenisnya, maka hukum kerjanya juga haram, karena itu termasuk tolong-menolong dalam kejelekan yang jelas diharamkan dalam Islam.
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertaqawalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya . (QS. Al-Maidah: 2)

عَنْ جَابِرٍ قَالَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir berkata: Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberinya, sekretarisnya dan dua saksinya. Dan beliau bersabda: Semuanya sama. (HR. Muslim: 1598)

B. Hukum Gaji Dari Pemerintah
Gaji pegawai negeri tergantung kepada pekerjaan itu sendiri:
1. Apabila dari pekerjaan yang haram, maka gajinya juga haram. Nabi bersabda:

إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ

“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Dia mengharamkan pula hasil (upahnya)”. (HR. Ahmad 1/247, 293 dan Abu Dawud 3488 dan dishahihkan Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad 5/661)

عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدِ الأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

Dari Abu Mas’ud Al-Anshari bahwasanya Rasulullah melarang dari uang hasil jual anjing, mahar (upah) pelacur dan upah dukun. (HR. Bukhari 2237 dan Muslim 3985)

2. Apabila gajinya dari pekerjaan yang halal, maka gajinya juga halal, sekalipun sumber dana pemerintah yang digunakan sebagai gaji tersebut bercampur antara halal dengan haram, selagi dia tidak mengetahui bahwa uang gaji yang dia terima jelas-jelas haram.
Lebih jelasnya, masalah ini dibangun di atas beberapa kaidah:
Asal segala sesuatu adalah halal
Kaidah agung ini berdasarkan dalil-dalil yang banyak sekali dari Al-Qur’an dan sunnah. Sumber dana pemerintah yang bercampur antara halal, haram dan syubhat, selagi tidak diketahui secara pasti bahwa uang yang dia terima adalah uang haram maka termasuk dalam kaidah ini. Patokan masalah ini tergantung pada keyakinan hati, bukan pada kenyataan perkara, artinya jika dia mengambil uang gaji tersebut yang kenyataannya adalah tidak halal tetapi dia tidak mengetahuinya maka hukumnya boleh.

Para ulama ahli fiqih menyebutkan bahwa harta yang di tangan para pencuri, atau titipan dan pergadaian yang tidak diketahui pemiliknya apabila tidak mungkin untuk dikembalikan kepada pemiliknya maka wajib dishodaqohkan atau diberikan ke baitul mal, dan harta tersebut bagi orang yang diberi shodaqoh adalah halal, padahal telah dimaklumi bersama bahwa harta tersebut adalah jelas-jelas milik orang lain yang tidak bisa dikembalikan kepada pemiliknya. Jika harta tersebut saja halal, maka harta yang tidak diketahui keadaannya dan tidak dipastikan kejelasannya tentu saja lebih jelas kehalalannya.

Agama Islam dibangun di atas kemaslahatan dan membendung kerusakan
Dana pemerintah tersebut pasti diberikan, mungkin diberikan kepada orang yang tidak berhak menerimanya, atau kepada orang yang berhak menerimanya, dan tentu saja yang kedua ini lebih berhak menerimanya. Seandainya ahli agama yang berhak menerimanya tidak mau menerima uang dari dana pemerintah tersebut lalu diambil oleh orang yang tidak berhak menerimanya, maka akan terjadi kerusakan yang banyak sekali dan akan terhambat kemaslahatan yang banyak, padahal syari’at Islam dibangun di atas kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan.(Lihat Al-Ajwibah As-Sa’diyyah ‘anil Masaail Al-Kuwaitiyyah hal. 163-164 oleh Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di, tahqiq Dr. Walid bin Abdillah).

Rasulullah menerima hadiah dan memenuhi undangan makanan dari Yahudi, padahal kita tahu semua bahwa Yahudi memakan uang dengan bathil dari riba dan lain sebagainya. Lantas bagaimana kiranya hukum menerimanya dari seorang muslim?! Jelas lebih halal.

C. Apakah Bekerja Di Pemerintahan Termasuk Wala’ (loyalitas) Kepada Taghut?
Ada beberapa point penting yang harus kita fahami dalam masalah ini:

Masalah berhukum dengan selain Allah termasuk masalah basar yang menimpa para pemerintah pada zaman kita sekarang, maka hendaknya kita tidak tergesa-gesa dalam menghukumi mereka dengan hukum yang tidak berhak bagi mereka sehingga masalahnya benar-benar jelas bagi kita, karena ini sangat berbahaya sekali. Kita memohon kepada Allah agar memperbaiki para penguasa kaum muslimin. (Syarh Tsalatsah Utsul hal. 159 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin).

Menvonis para pemerintah yang tidak berhukum dengan selain Allah dengan taghut berarti itu mengkafirkan mereka, ini jelas keliru karena madzhab salaf memerinci masalah ini; apabila dia berhukum dengan selain hukum Allah dari undang-undang manusia dan hukum-hukum jahiliyyah, dengan mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum Allah, atau berpendapat bahwa hukum Allah tidak relevan pada zaman sekarang, atau berpendapat sama saja berhukum dengan hukum Allah atau selainnya maka dia kafir, tetapi apabila dia berhukum dengan mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah dan tidak mengingkarinya, tetapi karena ambisi terhadap dunia, maka dia adalah fasiq. (Lihat kembali makalah “Hukum Islam Vs Hukum Jahiliyyah” dalam Al Furqon edisi 11/Th.III, “Fitnah Takfir” edisi 10/Th. III, “Berhukum Dengan Hukum Allah” edisi 8/Th. IV).

Anggaplah kalau mereka memang melakukan kekufuran nyata, bukankah menvonisnya dengan kekafiran memiliki kaidah-kaidah yang tidak ringan?! Harus terpenuhi syarat dan hilang segala penghalangnya?! Sudahkah kita menegakkan hujjah kepada mereka?! Bukankah mayoritas mereka melakukannya karena kebodohan dan taklid buta?!

Anggaplah juga bahwa pemerintah adalah taghut dan kafir, tetap tidak bisa kita pukul rata bahwa setiap para pegawai pemerintahnya adalah kafir. Sungguh ini adalah pemikiran menyimpang Khawarij yang sesat, karena haramnya wala’ (loyalitas) kepada orang-orang kafir bukan berarti haramnya muamalah dengan mereka dalam hal-hal yang mubah (boleh). Itu kalau kita anggap bahwa pemerintah kafir, lantas bagaimana kiranya kalau pemerintah masih mendirikan shalat?! (Lihat tulisan “Pembaikotan Produk Orang Kafir” edisi 12/Th. IV)
Akhirnya, kami mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan -semoga Allah menjaganya-:

“Saya tidak percaya kalau ada seorang muslim yang wala’ (loyal) terhadap orang-orang kafir, tetapi kalian mengartikan wala’ (loyal) bukan pada tempatnya. Kalaulah memang ada yang loyal kepada orang kafir, maka dia adalah orang yang jahil atau non muslim. Adapun orang muslim maka dia tidak mungkin loyal kepada orang kafir, tetapi ada beberapa perkara yang kalian menganggapnya loyal padahal tidak, seperti jual beli dengan orang kafir atau memberi hadiah orang kafir…”. (Al-Fatawa Syar’iyyah fil Qodhoya ‘Ashriyyah hal. 95, kumpulan Muhammad Fahd Al-Hushayyin).

2. Bekerja di tempat yang ikhtilath (campur baur antara lawan jenis) tidak keluar dari dua keadaan:
Pertama: Apabila di sana ada tempat, ruangan atau kantor khusus bagi kaum laki-laki sendiri, dan bagi kaum wanita sendiri, maka hukumnya boleh.
Kedua: Apabila dalam satu tempat, ruangan atau kantor bercampur antara laki-laki dan perempuan, maka tidak boleh, sebab hal itu adalah pintu fitnah dan kerusakan.
Nabi telah memperingatkan kepada umatnya dari fitnah kaum wanita dalam sabdanya

مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah saya tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum pria daripada fitnah wanita”. (HR. Bukhari 5096 Muslim 6880)

Sampai-sampai dalam tempat ibadah sekalipun, Nabi menganjurkan adanya jarak jauh antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana sabdanya:

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaf (barisan shalat) kaum wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang yang paling depan”. (HR. Muslim 440)

Nabi mengatakan sejelak-jelaknya adalah barisan yang terdepan disebabkan lebih dekat dengan barisan kaum lelaki. Demikian pula sebaik-baiknya adalah yang belakang dikarenakan lebih jauh dari kaum lelaki.Hadits ini sangat jelas sekali menunjukkan bahwa syari’at Islam sangat menekankan adanya jarak antara kaum laki-laki dengan wanita. Dan barangsiapa memperhatikan kejadian-kejadian yang terjadi pada umat, niscaya akan jelas baginya bahwa dalam ikhtilath antara lawan jenis merupakan penitu kerusakan dan fitnah hingga sekarang”. (Lihat Fatawa Nur Ala Darb hal. 82-83 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin).

Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga berkata:
“Adapun ikhtilath antara kaum lelaki dan wanita di tempat kerja atau perkantoran padahal mereka adalah kaum muslimin, maka hukumnya adalah haram dan wajib bagi orang yang memiliki wewenang di tempat tersebut untuk memisahkan tempa/ruangan antara kaum lelaki dan wanita, sebab dalam ikhtilat terdapat kerusakan yang tidak samar bagi seorangpun”. (Fatawa Haiah Kibar Ulama 2/613, Fatawa Ulama Baladi Haram hal. 532).

Akhirnya, kita berdoa kepada Allah agar menambahkan bagi kita ilmu yang bermanfaat dan meneguhkan kita di atas agamaNya. Amiin.

Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
http://abiubaidah.wordpress.com

muqoddimah

bismillahirrohmaanirohiim

semoga catatatan-catatan ini nantinya bisa bermanfaat
dan menjadi amal shalih bagi penulis...

Profil


Seorang isteri dari Abu Harits. Ibu dari Abdurrahman al Harits dan Abdurrahman Hanif ash-Shidqii. Seorang wanita yang selalu ingin belajar menjadi lebih baik dalam meniti kehidupan yang fana ini...Berharap bisa menggapai surga ALLAH yang kekal abadi.