Minggu, 20 Februari 2011

Kunyah

Kata “kunyah” bila kita artikan secara bahasa lebih kurang sama dengan “panggilan”, “sapaan”, ataupun sebutan penghormatan pada seseorang. Biasanya “kunyah” dinisbahkan kepada nama anak ataupun kepada nama bapaknya. Misalnya bila si fulan memiliki anak bernama `Abdurrohman maka ia bisa memakai kunyah yakni “Abu `Abdurrohman”. Atau bila si fulan mempunyai orang tua bernama ‘Usman maka ia bisa memakai kunyah yakni “Ibnu `Usman” dan sebagainya (diambil dari sini).

Dari Anas bin Malik, “Rasulullah sering menemui kami. Aku punya adik yang berkunyah Abu ‘Umair. Dia punya seekor burung yang sering dipakai untuk bermain. Suatu hari Nabi datang setelah burung tersebut mati. Beliau melihat Abu ‘Umair bermuram muka. Nabi lantas bertanya kepada kami ‘ada apa dengannya?’, ‘burungnya mati,’ sahut kami. Nabi lalu bersabda ‘Hai Abu ‘Umair apa yang telah dilakukan oleh burungmu?’” (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi, Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 7830).

Dalam Tuhfatul Aba’ dinyatakan, “Hadits di atas menunjukkan bahwa anak kecil boleh punya kunyah. Anak kecil yang suka bermain dengan burung dalam Hadits di atas berkunyah Abu ‘Umair, bahkan Nabi pun memanggilnya dengan kunyah tersebut. Ini termasuk adab arab yang bagus. Kunyah untuk anak kecil itu berfungsi mengangkat dirinya, meningkatkan kecerdasannya dan menyebabkan dia merasa dihargai.” (Tuhfatul Aba’ Bima Warada fi Tarbi Yatul Aulad, Dar Al-Qasim hal. 33).
Jadi Hadits di atas menunjukkan bahwa anak kecil boleh diberi kunyah. (Lihat juga Ahkam Ath-Thifli, Darul Hijrah hal. 164) (konsultasisyariah.com).

Beberapa hari yang lalu tiba-tiba kepikiran kalau mas harits dan dek hanif belum punya kunyah. Makanya ketika kami sedang bermain bersama, umm harits punya ide memberi mereka kunyah. Masya Alloh...ketika ditanya anak-anak pada semangat nentukan nama kunyahnya sendiri-sendiri. Jadinya umm harits nggak repot-repot milihkan kunyah buat mereka. Mereka yang dengan semangat memilih nama kunyah mereka sendiri. So mulai sekarang mas harits berkunyah Abu Isa, dan dek Hanif berkunyah Abu Muhammad ^^. Barokallohu fiihumaa.

Dan kurasa fungsi kunyah yang disebutkan dalam tuhfatul aba' di atas sungguh benar... ketika anak-anak dipanggil dengan kunyahnya, respon mereka ternyata jauh lebih "sempurna" dibanding ketika umm memanggil dengan nama mereka..
Suatu saat, ketika mas harits lagi bermain dengan dek hanif, namanya anak-anak, kadang timbul sedikit perselisihan, akhirnya mulai timbul gejala mau berantem, umm berusaha segera mendamaikan, menyuruh yang bersalah segera minta maaf. Tapi responnya kok nihil.. langsung umm memberi nasehat dengan kunyahnya : " Ayo abu muhammad segera minta maaf ke abu isa...". Masya ALLOH... dek hanif segera mendekat ke kakaknya dan meminta maaf. Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimush shalihaat.

Selasa, 01 Februari 2011

Sekolah Pilihan Buat Anak

Dulu... sebelum mempunyai anak, sangat ingin ketika mempunyai anak bisa seperti Imam Syafi'i, yang bisa menghafal alQur'an di usia 7 tahun. Sehingga punya planning memasukkan anak-anak ke pondok pesantren sejak TK. Tetapi.. ketika sekarang, anakku sudah hampir SD, keinginan memasukkan anak ke pondok pesantren sedikit luntur... biarpun harapan supaya anak-anak bisa menghafal alQur'an tetap merupakan prioritas...
Banyak pertimbangan ketika aku tidak memasukkan anakku ke pondok sejak kecil, di samping "mendegar" nasehat beberapa ustadz yang kurang setuju anak kita dimasukkan pondok sejak kecil. Juga serelah mendengar cerita temanku yang menjadi ustadzah di sebuah ponpes, menceritakan bagaimana keadaan anak-anak kecil yang dipondokkan ortunya. Apalagi setelah membaca artikel ini, membuatku berfikir seratus kali ketika memasukkan anakku ke pondok di usia dini.

Siapa orang tua yang tidak ingin anaknya hafal alQur'an? yang bisa menghafal hadits-hadits dari Rosululloh shollaolohu 'Alaihi wasalam. Beberapa kali mendengar pembicaraan ummahat baik di dunia nyata maupun di dunia maya, sebagian besar pasti "bangga" jika anaknya di usia yang masih kecil, sudah hafal beberapa juz dan hafal banyak hadits. Terus terang aku kurang suka, membicarakan kemampuanku anakku di forum umum, baik cerita ke teman-teman, bahkan cerita ke sodara-sodaraku. Teringat aku dulu, sangat maluu jika ibuku menceritakan "prestasi" ku di depan banyak orang (cie.. sok berprestasi nih ceritanya ^^). Entahlah.. aku memang kurang suka terlalu diperhatikan dan dianggap berprestasi. Mungkin karena aku pribadi yang introvert.. lebih suka menghabiskan waktu di rumah, membaca buku, menulis, atau yang lain daripada pergi ke luar rumah dan bergaul dengan banyak orang.

Kembali ke sekolah buat anakku. Kurasa di pondok pun tidak menjamin bisa mendidik anak kita menjadi anak shalih. Banyak aku mendengar cerita, dulu anak yang mondok sejak kecil, ketika di usia 20 tahunan, dia malah nggak mau sekolah (apalagi ke pondok lagi), dia ingin menghabiskan waktu bersama umm nya, karena merasa kekurangan kasih sayang umm nya sejak kecil. Ada cerita juga, ketika masuk jenjang SMA malah milih masuk sekolah swasta yang notabene teman-temannya anak ugal-ugalan. Biarpun banyak juga lulusan pondok yang shalih dan menjadi ustadz, jadi nggak semua jelek juga. Tapi  persepsi yang salah, ketika kita menganggap dengan di pondok anak menjadi baik. Pengalaman dari sepupu juga, dia 3 tahun di pondok, keluar dari pondok malah nge-Band, ngerasa bebas dan nggak terkekang... :(; Berdasarkan pengalaman itu, makanya aku berusaha lebih obyektif memahami karakter anakku. Tidak lagi mementingkan egoku semata. Yah.. mungkin juga karena keegoisanku dan keinginanku saja, yang ingin banget anak-anakku hafal alQu'ran di usia dini, hafal hadits-hadits, 'n lebih fokus dalam belajar agama sehingga sangat ingin anakku ke pondok sejak kecil. Tapi benarkah itu yang terbaik buat mereka?

Lagipula bukankah kewajiban orang tua yang mengajarkan alQur'an pada anak? Bukankah jika kita sendiri yang mengajari anak-anak kita membaca, menulis, adab dan akhlak sehari-hari, do'a-do'a Rosullulloh shollollohu 'alaihi wa salam, kita yang akan mendapat manfaatnya baik dunia dan akhirat. Karena selain kita mendidiknya sendiri, kita juga akan terus mendapat pahala dari ilmu-ilmu tersebut jika diamalkan. Hmm... siapa coba yang tidak mau mendapat amal jariyah??? lagipula, kalau kita mengajari anak sendiri, mau nggak mau harus terus belajar lhoh... masak kita ngajari tapi nggak tahu apa-apa. hehehe.

Hanya berharap yang terbaik untukmu anakku.. semoga ALLOH subhanahu wa ta'ala senantiasa menjagamu, membimbingmu untuk menjadi anak yang sholih. Tidak membiarkan diri kita walau sekejab matapun dan selalu memperbaiki setiap keadaan kita.