Selasa, 21 Juni 2011

Biaya Masuk TK

Tahun ini dek hanif rencananya sudah masuk TK. Nggak masuk play group tapi langsung TK saja deh, biar ngirit =). Biarpun aku sebenarnya nggak menargetkan hanif masuk TK supaya hanif bisa baca, tulis, baca iqro, hafalan dsb. Hanif masuk TK, karena memang anaknya kayaknya sudah pengen sekolah. Biarpun di rumah juga sudah mau "sedikit"  belajar bareng um, tapi aku menganggap hanif perlu masuk TK juga. Karena kalau nggak skul, seringnya kalau pagi malah main-main nggak jelas sama anak-anak di perumahan. Kadang malah diajak main ke rumah tetangga. Mending kalau cuma main main mobil-mobilan, sepak bola, pasir, atau bermain sepeda. Kadang hanif diajak nonton TV atau main PS sama temannya di perumahan. Padahal kalau pagi seringnya aku harus dinas ke RS, jadi nggak bisa ngawasi tiap hari. 
Lagipula penting juga masuk TK (kalau menurutku...), bukan target bisa baca tulisnya, tapi  lebih ke pengajaran motorik halus dan motorik kasarnya. Suka lihat karya anak-anak di TK yang dilatih origami, mencocok, kolase, menanam dan membuat beberapa ketrampilan yang lain. Kalau urusan ketrampilan gini umm harits kan "blank", nggak bakat dan nggak kreatif sama sekali. Jadinya nggak bisa ngajari ketrampilan apa-apa ke anak-anak. Kalau calistung, iqro, hafalan, do'a-do'a aku memang pengennya anak-anak belajar di rumah sama aku wae... hehehehe (sok PD...). Makanya sejak harits sudah sekolah TK, aku nggak disiplin banget urusan masuk skulnya. Kalau umm nggak dinas pagi, nggak masuk sekolah juga gpp, anak agak capek atau pas males skul, bolos juga gpp :P. Enjoy saja. Yang penting sekolah dibuat fun.

Biaya masuk TK hanif  untuk kota kecil kayak sini lumayan mahal juga. Padahal bukan full day. Hari senin - kamis : masuk jam 7.15-11.00. Hari jum'at-sabtu : masuk jam 7.15-10.00. Tapi nggak apa-apalah...semoga saja memang yang terbaik buat hanif.
Biaya pendaftaran : Rp.125.000 ; uang pengembangan Rp. 350.000 ; uang seragam Rp.280.000; (belum termasuk biaya penjahit), peralatan sekolah (sudah lengkap, kecuali sepatu dan tas) Rp. 150.000; kalau tahun kemarin SPP Rp.75.000; belum tahu tahun ini, biasanya nunggu rapat orang tua murid. Tapi dibanding biaya masuk TKIT di kota-kota besar, biaya segitu lumayan murah mungkin ya.. Kakakku di Depok cerita kalau di Depok minimal Rp.10 juta, wallohi.. mahal banget euy...heran juga kenapa biaya sekolah sekarang mahal ya..

Kamis, 16 Juni 2011

Bertani yukk!!!

Jika seorang anak ditanya apa cita-citanya? Pasti sebagian besar menjawab : ingin jadi guru (ustadz,) menteri, dokter, pilot, dan berbagai profesi yang cukup menjanjikan lainnya (secara materi ..)
Adakah diantara anak-anak kita yang bercita-cita ingin jadi petani???? Semoga saja masih ada ya (tapi kok aku pesimis..)
Sebenarnya kalau dipikir jasa petani jauhhh lebih besar dibanding sebagian besar profesi yang dianggap beberapa orang "wah" tersebut lho. Coba saja bayangkan kalau di dunia ini nggak ada petani. Pernahkah membayangkan? gimana coba kalau tidak ada petani lagi??? :D Kalau nggak ada dokter, kayaknya dunia tetap berjalan deh, orang sakit tanpa berobat kan bisa sembuh sendiri dengan izin Alloh. Tapi kalau nggak ada petani??? wah, nggak tahu deh dan nggak bisa membayangkan.
Makanya di suatu hadits Rosululloh shollallohu 'alaihi wasalam bersabda : 
"Tak ada seorang muslim yang menanam pohon, kecuali sesuatu yang dimakan dari tanaman itu akan menjadi sedekah baginya, dan yang dicuri akan menjadi sedekah. Apa saja yang dimakan oleh binatang buas darinya, maka sesuatu (yang dimakan) itu akan menjadi sedekah baginya. Apapun yang dimakan oleh burung darinya, maka hal itu akan menjadi sedekah baginya. Tak ada seorangpun yang mengurangi, kecuali itu akan menjadi sedekah baginya" [HR. Muslim dalam Al-Musaqoh (3945)].
Menurut Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits di atas pekerjaan yang terbaik adalah bercocok tanam. Masyaaallah, betapa besar keutamaan menjadi petani.... 
Tetapi sekarang pada kenyataannya amat sedikit orang yang tertarik menjadi petani. Biasanya orang menjadi petani karena terpaksa. Bahkan di desa-desa pun banyak orang yang memilih merantau ke kota, entah di sana mencari pekerjaan apa, dibanding bertani di kampung.
Apalagi sekarang banyak lahan-lahan pertanian yang tergusur, areal persawahan dibangun menjadi berbagai gedung, perumahan, pusat industri, dsb...tidak bisa membayangkan jika suatu saat tidak ada lagi yang tertarik untuk bertani. Sekarang saja Indonesia mulai import beras, gula, gandum.. bagaimana 10 tahun yang akan datang jika kondisi ini masih tetap sama?

Sebenarnya aku dulu juga kurang tertarik bertani. Biarpun aku etrmasuk keturunan dari seorang petani (kakekku petani), tapi sejak kecil ortu nggak pernah mengajakku ke sawah. Dan mungkin nggak pernah terbersit dalam pikiran ortuku agar aku bisa bertani/bercocok tanam. Jadi pengalamanku dalam pertanian memang sangat sedikit. Tetapi sejak pindah ke rumah mertua, aku mulai sedikit belajar bertani. Kegiatan mertuaku sehari-hari adalah mengurus sawah beliau di desa. hehehe. Makanya aku banyak belajar tentang pertanian pada beliau. Aku mulai tahu sistem menggarap sawah (walau masih perlu banyak belajar), mulai mengenal bibit-bibit tanaman padi, mulai tahu kapan mulai menabur benih, mesti bagaimana jika ada rumput/hama di sawah..... ternyata nggak susah-susah banget kok. Yang susah mungkin mencangkul/menandur di sawahnya kali ya... untuk yang satu ini aku memang belum pernah mencoba... karena biasanya kalau di desa ada beberapa orang yang pekerjaannya untuk mencangkul/nandur/manen. Jadi kita tinggal ngatur jadwal dan biayanya saja.
Kurasa cukup menyenangkan belajar pertanian ^^ Suatu saat memang ingin lebih fokus menggeluti pertanian. Sebenarnya hasil pertanian juga cukup lumayan, biarpun tidak iap bulan diharapkan.  Biasanya hasil pertanian didapat setiap 4 bulan sekali. Tetapi itupun kadang bisa gagal panen kalau pas musim hama dsb... sangat dibutuhkan rasa tawakal kepada Alloh subhanahu wa ta'ala.

Kalau seseorang "murni" cuma berprofesi sebagai petani memang susah.... kecuali sawahnya 10 hektar  kali ya.. Satu hektar sawah sekali panen menghasikan sekitar 10 jutaan. Jadi kalau punya sawah 10 hektar, bisa mendapat 100 juta sekali panen (lumayan banget kan? sekali panen, bisa langsung beli mobil, hehehe). Tapi itu mungkin cuma satu diantara 5.000 orang penduduk di desa. Kebanyakan orang di desa sawahnya cuma 1/4 hektar, jadi dalam 4 bulan mendapat penghasilan kurang lebih 2,5 juta. Sebenarnya penghasilan segitu relatif juga ya.. tergantung kebutuhan tiap orang. Ada yang cukup, tapi banyak juga yang ngerasa kurang. Pemerintah memang kurang memperhatikan nasib pak tani. Harga hasil pertanian nggak sebanding dengan kerja keras dan jasa petani. Makanya itu banyak orang yang mulai meninggalkan pekerjaan ini.

Biarpun aku juga baru tahap belajar tentang pertanian terutama menanam padi. Kurasa aku mulai menikmati usaha ini. Ada rasa kepuasan jika ternyata panen berhasil, biarpun pernah merasakan gagal panen juga. Pengen suatu saat anak-anakku bisa belajar lebih mendalam tentang pertanian juga. Dan semoga saja di era mendatang, lebih banyak orang yang tertarik untuk menggeluti bidang pertanian ini.

Senin, 06 Juni 2011

Rindu Solo

Selalu merindukan untuk pulang kembali ke Solo.
Rindu kotanya, rindu masakannya, rindu tempat ta'limnya, rindu ustadz-ustadznya (rindu majlis ilmunya maksudnya...^^), rindu teman-teman.. dan terutama sangat rindu bapak dan ibuku.

Kadang sedih juga jika mendengar keluh kelah ortuku yang cuma berdua di rumah. Alhamdulillah sampai sekarang ortuku masih mempunyai kesibukan, sehingga tidak terlalu sangat merasa kesepian. Tetapi jika ingat cucu-cucunya katanya jauhhh lebih nggak tahan kangen dibanding ketemu anak-anaknya.. (hm....).
Belum tahu kapan bisa pulang ke solo padahal pengennya pulang dalam pekan ini , supaya bisa ketemuan ama ummu khansa. Seringnya ortuku yang ke rumahku, hampir tiap satu bulan ke sini terutama bapak. Bapak memang selalu kangen sama harits. Ya pantaslah.. sejak harits lahir, yang merawat sejak kecil sampai aku lulus coass adalah bapak dan ibu. Dulu bapak yang sering menggendong, mengajak jalan-jalan, menidurkan... masyaallah... betapa besar pengorbanan bapak ibu waktu itu. Makanya sempat nggak tega juga ketika aku harus membawa harits dari pelukan ortuku waktu itu. Tapi ....bagaimana lagi, tanggungjawabku lah untuk mendidik harits. Secara materi, mungkin ortuku lebih bisa memenuhi dibanding kami, tetapi aku tidak yakin dengan pendidikannya? Pola pendidikan kakek-nenek tentu tidak sama dengan pendidikan orang tua. Oleh karena itu, biarpun dengan berat hati aku sedikit memaksa untuk membawa harits tinggal denganku.

Soal selera masakan, biarpun sudah hampir 4 tahun an di sini, tetap saja aku selalu rindu dengan masakan-masakan asli solo. Apalagi sejak hamil kali ini, aku ngerasa kurang cocok dengan menu masakan sini. Pengen menikmati soto kwali, srabi notosuman, tahu campur pasar kembang, timlo sastro, nasi liwet, steak (hmm..).... sayangnya di sini nggak ada yang jual. Mau mbuat sendiri, juga pesimis bisa seenak rasa aslinya. Alhamdulillah ari ahad kemarin, nggak sengaja nemuin rumah makan yang jual soto semarang di sini (hihihi) lumayanlah sebagai tombo kangen.... Secara rasa soto semarang rasanya kan agak-agak mirip dengan soto kwali, jadi sedikit terpuaskan. Kalau soto daerah sini beda banget dengan soto solo, kalau soto sini dikasi tauco.. jadi rasanya "berat" banget, nggak kayak di solo yang segeer....:D

Sebenarnya mencari ilmu / kajian di zaman sekarang memang mudah banget. Aku bisa dengerin radiorodja via fleksi atau streaming, bisa download kajian di kajian.net, bisa lihat video di ahsan.tv / yufid.tv. Di rumah juga banyak koleksi mp3/CD dan DVD. Masya allah, betapa Alloh sudah sangat memberi kemudahan dalam mencari ilmu. Tetapi.... kenapa ya rasanya tetep lain ketika dulu aku tholabul 'ilmi pertama kali. Selalu merindukan lagi, saat-saat ta'lim di musholla FK dengan ustadz Muhammad Na'im, LC, ustadz abu ahmad, ustadz jauhari dan ustadz yang lain. Mungkin karena waku itu aku masih sendirian kali ya.. jadi bisa konsentrasi dalam mendengarkan penjelasan ustadz, nggak seperti sekarang, atau karena tingkat keiklasanku yang berbeda? Hanya berharap semoga saja suatu saat aku bisa bermajlis dengan para assatidz itu lagi. Aamiin.

Kadang kalau sedang berbicara dengan suamiku, aku memang sering mengutarakan suatu saat ingin menetap di solo lagi, membayangkan di sana dekat dengan ortu, teman-teman, mudahnya mencari ilmu, lingkungan yang kondusif, sekolah yang syar'i..Akan tetapi penjelasan suamiku juga selalu menghibur hatiku. "Dimanapun kita, asal kita bisa istiqomah insyaallah itu yang terbaik, belum tentu juga ketika kita di sana akan lebih baik dari sekarang...". Yah... memang benar juga perkataan suamiku, tidak selalu apa yang kita inginkan, itu yang terbaik buat kita. Belum tentu juga ketika di solo lebih baik dibanding di sini. Aku mempunyai teman yang mendapat rumah di pondok, ternyata juga nggak betah, akhirnya malah memilih tinggal di luar pondok. Padahal kalau aku membayangkan, hidup di lingkunga pondok pasti enak. Banyak ta'lim, teman-teman yang semanhaj, lingkungan yang kondusif...Manusia memang seringnya kurang bersyukur kali ya.... kurang bisa menilai segala sesuatu yang ditakdirkan Alloh dengan kacamata positif. 

Terima kasih suamiku... yang selalu membuatku bahagia dan bisa mengobati seluruh kerinduan ini ^^ 
(Pengen nambahin kata-kata yang lebih romantis, tapi maluu kalau dibaca orang yang tidak berkepentingan...hehehe)