Kamis, 23 Desember 2010

Bolehkah Dokter Menerima Bonus Dari Obat Yang Diresepkan?

Di kalangan dokter adalah hal yang  biasa mendapat suatu bonus dari pabrik obat yang telah diresepkan pada pasien. Seorang dokter akan mendapat iming-iming yang mengiurkan dari seorang medical representatif (MR) jika berhasil meresepkan obat dalam jumlah tertentu. Uang senilai puluhan juta, travelling ke berbagai kota di dunia, benda-benda elektronik yang "waah", bahkan pergi haji/umroh adalah beberapa hal yang dijanjikan dari seorang MR supaya sang dokter mau "meresepken" obat yang ditawarkan. Bagi dokter, siapa yang tidak tertarik dengan iming-iming tersebut? Hanya dengan menulis resep, kita bisa mendapat hal-hal yang menggiurkan itu. Tapi tahukah kita hukum dari hal tersebut?
Berikut ini ada jawaban yang disampaikan Ustadz Aris Munandar, S.S di Milis PM-Fatwa berkaitan dengan pertanyaan tentang bonus untuk dokter yang diberikan oleh seorang MR. Semoga setelah mengetahui hal ini, kita bisa instrospeksi diri dan lebih bijak dalam mengambil keputusan. Semoga ALLOH membimbing kita untuk menjadi dokter yang shalih dan amanah. Yang bisa selalu mengikhlaskan niat hanya untuk mencari Ridho-Nya semata, bukan semata-mata mengejar nafsu duniawi yang fana.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pertanyaan : 
Assalamualaykum,
Saya ingin menanyakan, bagaimana hukumnya seorang sales perusahaan obat memberikan bonus kepada dokter?
Perlu saya gambarkan ilustrasi mekanisme dokter menggunakan obat kepada pasien. Setelah pasien didiagnosa penyakitnya, dokter memutuskan untuk memberikan obat tertentu. Misalnya dokter ingin memberi antibiotik. Ada beberapa merk antibiotik yang secara medis cocok, misalnya merk A, B, C. Dokter memutuskan meresepkan merk A, kemudian pasien menebus resep obat A tsb ke apotek.
Peran sales perusahaan obat adalah adalah mendorong dan mempromosikan pada dokter agar meresepkan merknya. Misalnya sales dari pabrik A mempromosikan agar dokter meresepkan merk A. Tetapi dokter tidak membeli atau kulakan obat ke pabrik, dia hanya meresepkan saja berdasar pertimbangan-pertimbangan medis dll, sedangkan obat disediakan oleh apotek. Cara mendorong dan mempromosikan  bermacam-macam, salah satunya dengan memberikan iming-iming bonus pada dokter apabila dokter tersebut meresepkan dalam jumlah tertentu. Bonusnya bisa berupa uang tunai atau barang atau sponsorship acara ilmiah. Nilai bonus ini bervariasi, ada yang sekitar 10% dari omzet si dokter. Jadi bila bonusnya dokter senilai 1jt maka dokter tersebut harus bisa meresepkan obat yang bersangkutan senilai 10jt. Yang membayar bisnis dokter dengan sales obat tadi adalah pasien, karena pasienlah yang mengeluarkan uang untuk membeli obat itu. Banyak terjadi, dokter memberikan obat tertentu pad pasien bukan semata-mata karena pertimbangan medis tapi pertimbangan bonus yang diberikan. Misalnya obat A, B,C mutu sama dan harganya B dan C lebih murah, tapi obat A memberi bonus lebih besar, maka si dokter akan memilih A. Dan target penjualan dari pabrik A tersebut makin naik maka si sales juga harus menggenjot si dokter agar makin banyak meresepkan, tentu dengan imbalan bonus makin besar pula. Dari sisi sales obat, dia merasa sah-sah saja memberi bonus seperti itu karena sebagai imbalan pada dokter yang melariskan obatnya. Dari sisi si dokter dia merasa berhak mendapat bonus itu, karena kalau tidak dia resepkan tidak mungkin obat A dibeli pasien, jadi sama-sama diuntungkan.

Bagaimanakah tinjauan secara syar'i terhadap bentuk muamalah sales obat dan dokter seperti di atas, apakah termasuk suap?

Mohon maaf apabila ada anggota milis ini yang berprofesi dokter, saya tidak bermaksud meng-generalisir semua dokter begitu, masih ada dokter yang tetap memperhatikan pertimbangan medis dan kemanusiaan. Jadi yang saya contohkan di atas adalah oknum dokter. Saya hanya ingin tahu hukumnya karena praktek seperti ini sudah umum dalam dunia marketing produk farmasi meskipun sulit dibuktikan di atas kertas.
(Probo)

Pertanyaan:
Assalamualaikum
Saya seorang pekerja marketing, pak ustadz. Seperti yang diketahui, pekerjaan marketing mencakup luas, tidak terpaku pada satu pekerjaan saja, dan pekerjaan saya adalah menjual produk, dimana dalam menjual pruduk tersebut saya harus melalui pendekatan dengan pembeli, lalu bagaimana hukumnya jika kita memberi tips kepada seseorang dengan perjanjian untuk meloloskan produk kita agar bisa sampai kepada konsumen karena jika tidak dengan cara itu produk saya tidak dapat disalurkan? jika hal yang saya lakukan tersebut masuk ke dalam pekerjaan haram apakah penghasilan saya juga ikut haram juga, lalu bagaimana juga jika orang meminta keuntungan dahulu lalu menjual produk dengan catatan adanya perjanjian dibandingkan menjual barang dahulu baru dapat keuntungan.
Mohon agar bisa dijawab, untuk menjawab keragu-raguan dalam hati saya.
Wassalam
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Eko Jayanto

Jawaban:
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Saudara Eko Jayanto, semoga Allah senantiasa melimpahkan kerahmatan dan 'inayah-Nya kepada saudara.
Perlu diketahui bahwa urusan hadiah kepada pemangku jabatan, baik di instansi pemerintah atau swasta, telah di atur oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits berikut:


عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ السَّاعِدِىِّ رضي الله عنه قَالَ: اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً مِنَ الأَسْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا قَدِمَ، قَالَ: هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا لِى أُهْدِىَ لِى. قَالَ: فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الْمِنْبَرِ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ : مَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُهُ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا أُهْدِىَ لِى، أَفَلاَ قَعَدَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ فِى بَيْتِ أُمِّهِ، حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لاَ، وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَنَالُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا، إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةٌ لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةٌ تَيْعِرُ. ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَىْ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ. مَرَّتَيْنِ متفق عليه

Abu Humaid As Sa'idy radhiallahu 'anhu mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menugaskan seseorang dari bani Al Asad, yang dikenal dengan panggilan: Ibnu Al Lutbiyah untuk mengumpulkan zakat, dan ketika ia telah selesai dari tugasnya, ia berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Ini zakat yang berhasil aku kumpulkan, dan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku." Mendengar ucapan itu, segera  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke mimbar, lalu membaca puji-pujian kepada Allah, dan bersabda: "Mengapa seorang petugas yang aku utus berkata: 'Ini zakat yang berhasil aku kumpulkan, dan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku’, tidakkah ia berdiam diri di rumah ibu atau ayahnya, agar ia mengetahui apakah ada orang yang memberinya hadiah atau tidak? Sungguh demi Allah yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah ada seseorang dari kalian yang mengambil hadiah semacam itu, melainkan kelak pada hari kiamat ia akan memanggulnya dalam bentuk onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembek." Selanjutnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  mengangkat tinggi-tinggi kedua tanganya, hingga kami dapat menyaksikan bulu ketiaknya, lalu berkata: "Apakah aku telah menyampaikan hal ini kepada kalian?" dua kali. (Muttafaqun 'alaih)
Saya yakin anda menyadari sepenuhnya bahwa kalaulah petugas yang saudara beri hadiah itu tidak memangku jabatan yang dapat melancarkan distribusi barang saudara, niscaya saudara tidak akan pernah memberikan hadiah kepadanya, walaupun anda kenal dengannya.
Bila demikian adanya, maka semua masyarakat yang masih memiliki hati nurani bersih menyadari bahwa hadiah yang saudara berikan ini bertujuan sebagai pelicin. Sebagaimana semua telah mengetahui bahwa dengan cara-cara seperti inilah seorang petugas dalam banyak kesempatan meloloskan sesuatu yang kurang layak, mengkhianati peraturan dan tindakan serupa.
Oleh karena itu hadiah semacam ini dalam syari'at Islam diharamkan, karena itu termasuk risywah (sogok) atau suap atau tindak khianat, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada sabdanya berikut:

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ. رواه احمد وصححه الألباني

"Hadiah yang diberikan kepada pegawai (pemangku amanah/jabatan) adalah ghulul (kecurangan/pengkhianatan)." (Riwayat Imam Ahmad dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Hukum hadiah ini tidak ada bedanya diberikan di muka ketika hendak memasukkan barang atau di akhir setelah barang laku terjual.
Saudaraku sekalian pasti lebih mengetahui daripada saya tentang efek buruknya hadiah semacam ini. Betapa para dokter memberikan resep kepada pasiennya dengan menuliskan obat-obatan yang mahal dengan mengabaikan obat-obatan serupa dan dengan efek yang sama, demi mengejar hadiah semacam ini. Sehingga masyarakat luas dirugikan dan menjadi korban kerakusan segelintir orang.
Oleh karena itu, selanjutnya saya menganjurkan kepada saudara untuk tidak memberikan hadiah semacam ini, agar saudara tidak terjerumus ke dalam perbuatan haram. Yang sudah berlalu biarlah berlalu, cukup anda beristighfar (bertobat -ed), dan untuk selanjutnya tempuhlah metode yang sehat dalam memasarkan barang. Misalnya anda dapat menempuh pendekatan yang bagus dengan kata-kata yang bagus pula. Dan pada kesempatan ini, anda bisa menggunakan metode pendekatan yang diajarkan dalam ilmu NLP (Neuro Linguistic Programming). Betapa banyak orang yang berhasil meyakinkan calon konsumennya dengan menggunakan trik-trik yang diajarkan pada ilmu ini tanpa harus memberikan hadiah atau lainnya (tentunya dengan mewaspadai beberapa catatan dan kritikan yang diarahkan kepada ilmu ini). Misalnya yang terjadi pada berbagai kasus MLM, dimana banyak orang berbondong-bondong masuk ke jaringan ini, walaupun kenyataannya adalah fana, alias permainan belaka. Bila mereka bisa padahal mereka bohong-bohongan, maka saudarapun bisa melakukan hal yang sama, terlebih-lebih saudara tidak berbohong. Barang bermutu, harga bersaing, dan pelayanan yang bagus. Saya yakin dengan bermodalkan tiga hal ini saudara mampu meyakinkan calon pembeli atau petugas yang terkait guna meloloskan barang saudara.
Semoga Allah Ta'ala memudahkan saudara dalam mencari rizki yang halal dan jauh dari trik-trik yang tidak diridhai Allah.
Wallahu a'alam bisshowab.

Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar